Menulis Angka 1-5

Sarah baru sampai di sini. Alhamdulillah, sudah bisa menulis angka satu sampai lima. Melewati step yang panjang, dalam waktu yang tidak sebentar.

Saya membuat metode khusus untuk Sarah, dengan cara memegangi tangannya dan mengarahkan ke bentuk angka, berulang-ulang. Sambil mengucapkan kalimat tertentu, sesuai dengan bentuk huruf.

Misalnya,
Satu: biasa aja, karena hanya garis lurus.
Dua: mblendhuk, sreet.
Tiga: mblendhuk, mblendhuk
Empat: pendek, pendek, panjaaang
Lima: satu, mblendhuk, kasih topi
Demikian Sarah menulis sambil mengucapkan kata2 itu, sesuai arah gerak pena membentuk angka.

Karena, ternyata, Sarah belum bisa ke tahap langsung meniru. Kalau untuk tracing bisa, tapi menurut saya akan lama jadinya, karena dia justru akan konsentrasi pada kerapian, bukan bentuk itu sendiri. Melenceng dikit, dihapus, atau diulang. Maka proses menulis angka jadi terganggu arahnya.

image

Setelah berhasil menulis angka 1 sampai 5, kami pun akan melanjutkan angka 6.
Seperti problem yang sudah-sudah, Sarah kesulitan menirukan langsung, meski sudah melewati tahap tracing, tetap saja susah untuk meniru.
Akhirnya dengan cara yang sama, saya pegangi lagi tangannya. Sambil mengucapkan, “C, bulet.” Karena angka 6 bentuknya seperti huruf C dikasih buletan di bawah. Sebelumnya saya juga mengajarkan menulis huruf C.

Sayang, seribu sayang (dan pada tahap ini saya harus bersabar, karena muncul kendala), Sarah jadi agak terganggu konsentrasinya ketika menulis angka dua.
Biasanya, dia lancar saja nulis angka 2. Namun, begitu diperkenalkan dengan huruf C dan angka 6, orientasi arahnya jadi kacau.

image

Terlihat di gambar, ketika mau menulis angka 2, jadinya malah C. 😦
Ya sudah, tetap harus diulang-ulang.

Besok kita latihan lagi ya mba Sarah. Semangat, insya Allah bisa.

Kenapa Memilih Homeschooling?

Akhirnya, saya memutuskan untuk homeschooling Sarah saja. Dulu, sempat beberapa kali survey sekolah umum dan sekolah inklusi. Sekolah umum tersebut adalah sebuah TK yang menurut saya programnya bagus, dan menerima ABK juga walau tidak ada tulisan inklusi di papan namanya.
Sebelum itu pula, Sarah sempat sekolah di PAUD dan TK di dua sekolah.
Pada akhir Ramadhan lalu, saya mendaftarkan Sarah untuk sekolah di sebuah sekolah khusus di Jogja. Pada 14 Juli 2017, Sarah dipanggil untuk menjalani rangkaian tes psikologi. Sekolah khusus tersebut, menangani anak-anak berkebutuhan khusus, seperti autis, ADD, ADHD, dan juga Down Syndrome.

Hasil tes psikologi menunjukkan bahwa kemampuan Sarah setara dengan anak usia lima tahun. Alhamdulillah, ‘alaa kulli hal. Namun, pihak sekolah belum bisa menerima Sarah untuk langsung masuk sekolah karena keterbatasan guru.
Saat menerima hasil tersebut, saya menyempatkan untuk bertanya kepada kepala sekolah. Apakah bisa trial dulu, barang beberapa hari, sebelum menjadi siswa di situ. Sayang sekali, karena tidak ada proses trial. Menurut kepsek, pihak sekolah dengan adanya tes psikologi, sudah menyeleksi guru yang tepat untuk setiap siswa.

Memang, dari print out informasi sekolah yang saya baca, sistem belajar di sana satu guru, satu murid. Namun, kata kepsek lagi, jika anak dianggap sudah mampu digabung, maka bisa jadi satu guru tiga murid. Dan Sarah dianggap mampu, sehingga kelak jika masuk sekolah, akan digabung dengan murid lain. Kemungkinan gabung dengan salah satu siswa tuna rungu.

Antara senang karena diterima, namun galau juga karena tidak bisa trial dulu. Setidaknya, dengan trial itu, saya bisa mengukur apakah Sarah tepat sekolah di sini. Apakah metode mengajarinya bisa diterima Sarah, dll. Banyak pertimbangan untuk memilih sekolah, karena pengalaman kami yang sudah-sudah.

Akhirnya, dua pekan setelah hasil itu, kami mendapat WA untuk melunasi administrasi sebelum masuk sekolah.
Dengan mantap, saya membatalkan rencana untuk masuk sekolah tersebut.

Dengan banyak pertimbangan pembatalan.
Pertama, saya adalah ibu rumah tangga, yang setiap hari berada di rumah. Artinya, saya bisa menjadi partner Sarah dalam belajar. Saya bisa mencari metode yang tepat untuk Sarah. Karena tiap anak itu unik, maka metode belajarnya juga tidak bisa disamakan antara satu anak dengan yang lain. Pun, dengan kondisi yang sama-sama Down Syndrome, bisa jadi berbeda cara belajarnya.

Ke dua, sekolah tidak memberikan fasilitas trial terlebih dahulu. Padahal ABK sangat butuh fasilitas ini, untuk mengukur sejauh mana anak merasa nyaman berada di sekolahnya. FYI, sekolah yang saya datangi sebelum ini juga memberikan fasilitas trial meski satu hari saja.

Ke tiga, keputusan sekolah yang akan menggabungkan siswa jika dirasa mampu, padahal dari segi biaya sama. Tidak bisa dipungkiri, satu guru satu siswa jelas lebih baik daripada satu guru dengan beberapa siswa. Namun, tentu saja sebagai wali siswa, kami tidak bisa memaksakan pihak sekolah, karena di awal juga sudah diinformasikan tentang keterbatasan tenaga pengajar.

Itulah beberapa hal yang membuat kami akhirnya memutuskan untuk mengajari sendiri anak kami di rumah.
Bismillah, dengan tekad yang kuat, insya Allah bisa.
Semoga Allah mudahkan, aamiin.

image

Sarah saat belajar dengan adiknya, Maryam

Alhamdulillah, Allah beri kecukupan rizki melalui ayah, yang membelikan meja ini untuk belajar, biar ngga lesehan lagi. Kami suka ^^ Jazakallahu khayran.